Senin, 19 September 2016

Si Bungsu

"Ibu, ibu kenapa sih kalo pagi selalu buru-buru?", pertanyaan si bungsu suatu kali. Si bungsu ini setiap hari berangkat ke sekolah bersama saya, karena sekolahnya searah dengan sekolah tempat saya mengajar. Jam 06.15, kami berdua sudah on motor cycle to school. Jarak ke sekolah yang hanya beberapa ratus meter dari rumah, membuat kami bisa berangkat mendekati jam 06.30, saat bel masuk sekolah DKI dibunyikan. Sesampai di sekolahnya, setelah cium tangan saya biasanya si bungsu akan bertanya tentang berbagai hal, dan jawaban saya cuma satu, "oke"!. dan sayapun bergegas menuju tempat saya mengajar. Biasanya sekitar 1 atau 2 menit menjelang 06.30, saya sudah sampai di sekolah. Begitulah setiap hari.


Saya bahkan tak sempat untuk menjawab berbagai pertanyaan si bungsu, menuntun tangannya hingga sampai batas mengantar, memberikan pesan-pesan, dan melambaikan tangan kepadanya. Sesuatu yang saya perhatikan dilakukan oleh beberapa orang tua yang mengantar anaknya ke sekolah. Para orang tua biasanya menunggu hingga anaknya masuk kelas dan melambaikan tangan. Sesekali, saya sempatkan menoleh sebentar ke arahnya, dan si bungsu sudah berlari masuk ke kelasnya tanpa menoleh sama sekali. Namun demikian, sibungsu terlihat senang pergi ke sekolah. Ketika kebetulan di gerbang dia bertemu dengan temannya, mereka langsung bercanda dan beriringan masuk kelas. Bahkan, bebera kali sibungsu minta dijemput agak terlambat, karena mau main bola dulu.

Dunia yang bergegas itu sudah mulai sejak bangun tidur. Alhamdulillah si bungsu, gampang dibangunkan. Setiap pagi paling lambat dia bangun jam 05.00 pagi. Sejak TK B, saya sudah ajarkan untuk menyiapkan seragam sekolahnya sendiri sebelum tidur, sehingga pagi hari tinggal pakai. Sekarang, ketika sudah SD, dia sudah menyiapkan baju yang akan dipakai untuk 5 hari ke depan. Hehehe... Si bungsu sudah tahu harus melakukan apa sejak bangun tidur; mandi, pakai seragam,  menaruh baju kotor pada tempatnya, sholat subuh, sarapan, dan menunggu saya siap berangkat. Semua itu dilakukannya sendiri. Sesekali saja dia minta dibantu memasang dasi.

Sudah hampir setahun ini, saya memang sengaja tidak menggunakan asisten di rumah. Saya ingin melatih anak-anak belajar mandiri. Saya perhatikan, keberadaan asisten di rumah, membuat anak-anak hanya akan mengandalkan asisten (sebentar-sebentar menyuruh asisten). Sebagai orang tua, tentu saya tidak menginginkan anak-anak yang tidak mandiri. Anak-anak yang tidak mengerti tanggung jawab, anak-anak yang gamang ketika harus melakukan pekerjaan di rumah.Meskipun capek, ketidak-adaan asisten ini sudah mulai membuahkan hasil. Bagi  si bungsu latihan kemandirian ini lebih mudah dia lakukan dibanding kakak-kakanya. Saya cukup mengarahkan sekali dan dia akan melakukannya tanpa harus diminta lagi. Agak berbeda dengan kakak-kakaknya yang masih harus sering diingatkan.

Benar, belajar di waktu kecil memang lebih mudah...

Jumat, 29 Mei 2015

Menyiapkan Pernikahan Anak (2)

Mempersiapkan pernikahan anak tidak melulu persiapan pesta pernikahan; gedung, konsumsi, dekorasi, rias, dan sebagainya. Menurut suami saya persiapan hal-hal seperti adalah nomor dua puluh tiga. Maksudnya bukan hal yang penting atau harus di nomor-satukan. Lalu apa yang penting harus dipersiapkan. Menurut suamiku yang terpenting adalah persiapan mental. Maka pertanyaan suamiku kepada anak pertama yang akan menikah waktu itu adalah; "seberapa serius calon suamimu menginginkanmu menjadi istrinya"? seberapa besar arti dirimu bagi hidupnya,  dan sebaliknya. Begitulah diskusi-diskusi penting yang kami lakukan tiap hari. Dari diskusi itu kami sebagai orang tua dapat menangkap keseriusan dua calon pengantin untuk melaksanakan niatnya.

Setelah diskusi pertama itu selesai dan orang tua yakin tentang kesungguhan anak maka hal penting selanjutnya adalah orang tua dan keluarga. Menikah itu itu tidak sekedar menyatukan dua manusia dalam ikatan pernikahan, namun juga 'seyogyanya' menyatukan dua keluarga. Jika seluruh keluarga besar agak sulit disatukan, terutama adalah orang tua calon pengantin wanita dan laki-laki. Sebelum pernikahan berlangsung sudah selayaknya masing berusaha meminta do'a restu dan ridho orang tua. Faktanya, tidak semua orang tua mudah meridhoi pernikahan anaknya dengan berbagai alasan. Jika kondisinya seperti itu, tetap anak harus berusaha maksimal dengan berbagai cara mengambil hati orang tuanya agar merestui. Seandainya masih ada orang tua yang belum ridho, kita kembalikan kepada tuntunan agama. Alhamdulillah orang tua kedua belah pihak sudah setuju dan meridhoi rencana pernikahan anak pertama.

Selanjutnya adalah persiapan mental calon pengantin. Dalam proses ini, kami memanfaatkan saat makan pagi, makan malam untuk menyelipkan nasihat-nasihat pernikahan. Suami saya menasihatkan bahwa tolok ukur kebahagiaan rumah tangga itu bukan banyak harta yang dimiliki, banyaknya anak yang dimiliki dan sebagainya. Kebahagiaan rumah tangga  adalah saat pernikahan menjadikan seorang suami dan istri makin baik ibadahnya, makin baik akhlaknya. Saat mereka mampu menjadi orang tua yang sabar dalam mendidik anak-anaknya.

Proses selanjutnya setelah kedua orang tua setuju baru mempersiapkan acara akad nikah dan pesta pernikahan. Untuk proses ini, kami punya prinsip untuk melakukan proses pernikahan yang sesuai dengan kemampuan. Jangan pernah memaksakan diri membuat pesta hanya karena mengikuti komentar orang. Untuk ini memang kita harus berani mengambil sikap.  Insya Allah jika semua persiapan tadi dilaksanakan acara prosesi pernikahan hingga perjalanan rumah tangga anak-anak kita akan sakinah mawwadah wa rahmah. Aaamiin.



Selasa, 21 April 2015

Menyiapkan Pernikahan Anak (1)

Jika laki-laki yang kamu pilih untuk kamu jadikan calon suamimu adalah sumber kebahagiaanmu kini dan nanti, maka perjuangkanlah. Sikap ego,  emosional dan gengsi sangat tidak penting dan kecil artinya dibanding kebahagiaan-mu, maka lepaskanlah. Tinggalkan dan jangan bawa-bawa, karena siapa lagi yang akan memperjuangkan kebahagiaan kita selain diri kita sendiri. Cinta itu tidak seperti pakaian yang bisa kita ganti sesukanya, kapan saja kita mau. Jangan kira kamu bisa benar-benar melepaskannya, maka hadapilah masalah ini, jangan menyerah.  Dan kebahagiaan pernikahan akan sempurna jika dua keluarga saling ridho. Anak gadis itupun sesenggukan mendengarkan nasihat orang tuanya.

Begitulah, menjadi orang tua yang anaknya siap dan akan menikah adalah pelajaran hidup tersendiri. Sebagaimana perjalanan hidup yang tidak selalu mulus bisa jadi perjalanan cinta anak-anak kita-pun tidak mulus menuju pelaminan. Terkadang ada pihak keluarga yang tidak menyetujui, terkadang ada pria/wanita lain dalam proses perjalanan cinta mereka, dan sebagainya. Di situ peran orang tua ternyata cukup penting.

Jika anak kita memiliki masalah dalam perjalanannya menuju pernikahan, sikap utama dan pertama sebagai orang tua adalah sikap bijaksana, tidak emosional apalagi memaksakan kehendak. Sikap ini akan memandu kita untuk menemukan rujukan bagaimana pandangan agama terhadap masalah tersebut. Dari pandangan agama itu, orang tua bisa menentukan sikap apakah harus dilanjutkan atau diputuskan hubungan anak-anak kita. Jadi pertimbangan utama dan terutama menyikapi masalah anak adalah pandangan agama terhadap masalah tersebut.

Contoh kasus ada sebagian kita yang begitu mempertimbangkan bibit, bobot, bebet calon pasangan anak-anaknya. Tentu saja hal itu boleh-boleh saja senyampang tidak bertentangan dengan kehendak anak. Karena, bahkan agamapun cukup bijaksana menyikapi hal tersebut. Menurut pandangan agama (Islam), kebaikan atau keburukan itu adalah hasil perbuatan sendiri, bukan sebab orang tuanya. Dalam Al Qur,an diceritakan kisah Nabi Nuh yang anaknya masih tetap kafir meski orang tuanya seorang Nabi. Demikian juga kisah Nabi Ibrahim yang lahir dan besar dari orang-tua penyembah berhala.
Kisah lain memberi contoh bahwa bahkan pasanganpun tidak membuat kita lebih baik atau lebih buruk. Kita bisa membaca kisah Siti Asiah yang tetap mulia meski bersuamikan Fir'aun, kisah istri nabi Luth yang durhaka meski bersuamikan seorang Nabi, dan kisah Maryam salah seorang wanita penghulu sorga meski seumur hidupnya tidak menikah.

Selanjutnya, kita perlu kenali karakter anak kita dan calon pasangan anak kita. Kita perlu kenali kelebihannya, kekurangannya, kesungguhan dan tanggung jawabnya dan rasa cinta yang ada di hati keduanya. Layakkah mereka berdua mendapat pembelaan orang tuanya. Jika kita sudah yakin, maka tugas orang tua adalah memberi dukungan dan memudahkan pernikahan mereka. Setelah ikhtiar maksimal dan do'a maksimal, kita serahkan hasilnya kepada Allah SWT yang maha Mengatur hidup manusia.

Rabu, 16 April 2014

Menjadi Ibu (tiri) yang Sukses

Judul di atas adalah judul buku yang saya harapkan dapat saya peroleh dan baca sebelum saya memutuskan menikah dengan suami saya sekarang yang waktu itu berstatus duda dengan lima orang anak bersamanya. Namun sampai pernikahan kami berjalan hingga sekarang ini buku yang saya harapkan itu belum juga saya temukan. Mengapa tidak ada penulis yang menulis tentang tema di atas. Apa bayangan seorang ibu (tiri) tidak cukup layak untuk menjadi pelajaran yang bisa dituliskan. Atau seperti gambaran kita selama ini bahwa ibu (tiri) itu kejam. Juga seperti lagu yang lekat kita dengar bahwa "ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja...dst. Dan aku harus segera memutuskan meski belum menemukan referensi yang cocok untuk saya pelajari sebelumnya.

Namun, memang hidup ini misteri, itulah yang saya alami sekarang, menjadi ibu (tiri) dari 5 orang anak. Tentu saja saya tidak pernah membayangkan akan menjalani peran ini dalam perjalanan hidup saya. Kata teman saya, mendidik anak-anak sendiri saja tidak mudah, apalagi bukan anak-anak sendiri. Namun sebagai orang yang dikarunia akal budi, tentu saja saya sudah mempertimbangkan segala hal sebelum menerima amanah ini.

Langkah awal saya ya seperti di atas mencari referensi,  mencoba belajar dari pengalaman hidup orang lain. Namun langkah awal ini ternyata tidak sukses, belum ada buku referensi yang saya cari. Tentu saja saya tidak lantas diam dan putus asa, saya mencari orang yang tepat untuk saya ajak diskusi tentang apa dan bagaimana seorang ibu (tiri). Orang pertama dan utamanya adalah calon suami saya waktu itu. Kami berdiskusi panjang tentang berbagai hal dalam pendidikan anak. Apa yang sudah dilakukan, apa yang dialami dan rasakan anak-anak, apa yang mereka harapkan, bagaimana pandangan mereka dengan kehadiran ibu (tiri) dalam kehidupan mereka, bagaimana hubungan mereka dengan ibu kandungnya, dsb. Diskusi panjang ini sedikit banyak membuat saya mengenali anak-anak dan menyiapkan mental saya menghadapi mereka.

Orang kedua yang saya ajak diskusi tentunya adalah orang tua. Orang tua adalah orang yang paling mengerti kita. Mereka bisa menilai dengan jujur apakah kita akan cocok dan sanggup menjalani suatu peran atau tidak. Mereka juga orang pertama yang membela dan mendukung kita jika ada masalah yang menerpa kita. Dan orang tua saya yakin saya bisa menjalani peran saya ini.

Orang berikutnya adalah psikolog dan sahabat-sahabat saya. Alhamdulillah saya memiliki sahabat psikolog dan teman-teman yang juga seorang muslimah yang taat juga istri dan ibu dari anak-anak yang hebat. Nasihatnya singkat dan mengena. Kamu kan guru, terbiasa menghadapi anak-anak dengan berbagai wataknya. Pada prinsipnya setiap orang sama, dengan ketulusan dan keikhlasan mendidik Insya Allah semua bisa teratasi.

Begitulah langkah awal saya, langkah berikutnya nanti saya tuliskan lagi. Namun beberapa prinsip sudah saya tanamkan dalam diri saya saat menerima amanah ini yaitu:

1. Niatkan mendidik anak (tiri) sebagai amal soleh, ingat waladun soleh, bukan bintun soleh.
2. Apa yang suami saya cintai akan saya cintai
3. Tidak pernah mengharap perlakuan hormat atau apapun dari anak (tiri) selayaknya perlakuan seorang anak terhadap ibunya. Cukuplah balasan Allah  saja. Jadi bisa ikhlas.
4. Jika menghadapi kesulitan menghadapi mereka, ingat bahwa merekapun juga menghadapi kesulitan. Setiap anak pasti mengharapkan tinggal bersama orang tua kandungnya. Jadi bisa sabar.
5. Tidak pernah berniat untuk menyaingi ibu kandungnya. I know where I am.
6. Selama ada suami saya di samping saya, semua menjadi indah, tidak ada masalah yang berat. Because we love so much each other.

Wallahu'alam bi showab..


Sakinah itu...

Suatu hari saya menulis status di BB seperti ini: "sakinah itu, jika istri capek suami dengan senang hati mijitin, dan sebaliknya". Kontan status itu mengundang banyak komen dari teman-teman BB, bahkan di group BBM juga menjadi bahan obrolan. Lalu besoknya lagi saya ubah statusku menjadi: "sakinah itu, saat suami istri bisa ngobrol asyik setiap waktu". Dan status inipun juga mengundang banyak komen. Saya sebenarnya masih akan menambahkan banyak hal lagi tentang sakinah, namun menghindari berbagai komen lagi maka tidak saya tulis di status BB.

Sakinah itu dalam bahasa Indonesia dimaknai rasa kedamaian, ketenangan, ketenteraman yang tumbuh di hati pasangan suami istri. Ya sakinah itu adalah rasa damai yang tumbuh di hati suami dan istri karena kepuasan atas pasangan satu sama lain. Rasa tenang dan damai itu tumbuh karena adanyanya kepercayaan satu sama lain.

Suami yang percaya dan puas terhadap istrinya akan merasa tenang dalam bekerja dan beraktivitas apapun baik di dalam dan di luar rumah. Suami akan bebas mengekspresikan sisi kemanusiaannya termasuk sisi kemanjaannya tanpa merasa khawatir akan dinilai negatif oleh istrinya. Suami bebas bermanja-manja terhadap istrinya, bebas menggoda istrinya, bebas mengekspresikan rasa humornya tanpa khawatir bahwa istrinya akan marah atau tersinggung. Bahkan rasa kesal, cemburu, dan marahnyapun bisa diekspresikan dengan bebas dengan penuh keyakinan bahwa istrinya akan memahami perasaannya.

Begitu pula istri yang merasakan sakinah dalam kehidupan rumah tangganya akan tidak merasa takut untuk mengekspresikan berbagai emosinya. Istri akan bisa bercerita apa saja terhadap suaminya tanpa rasa sungkan dan takut suaminya marah atau terganggu. Bahkan seperti status saya di atas, istri bisa leluasa minta dipijitin suaminya saat merasa lelah (tentunya setelah memperhatikan kondisi suaminya tidak dalam kondisi capek). Istri yang merasakan sakinah juga akan bisa membalas humor-humor yang dilontarkan suaminya dengan cerdas sehingga mereka bisa mengakhirinya dengan tertawa bersama. Indahnya dunia bagi suami istri yang merasakan sakinah.

Dalam Al Qur'an Allah mengibaratkan bahwa pasangan kita adalah pakaian kita. Pakaian yang cocok itulah jodoh yang membuat keberadaan pasangan kita menjadi orang yang bisa meng-"indah"-kan diri kita dan menutupi kekurangan kita. Pasangan kita adalah orang yang diperkenankan Allah untuk mengetahui segala rahasia kita. Maka Allah-pun mengibaratkan ikatan pernikahan sekuat ikatan antara Allah dan rasulNya sebagai "mitsaqon gholiza". Oleh karena sakralnya ikatan pernikahan itu Allah menciptakan rasa sakinah, mawwadah wa rahmah di hati suami istri seperti dalam Al Quran QS. Ar-Rum ayat 21.

“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

Dari ayat tersebut sakinah disebut pertama kali sebelum mawwadah dan rahmah. Karena, dengan rasa sakinahlah bisa muncul mawwadah wa rahmah. Setelah memiliki rasa tenang dan damai-lah, suami istri bisa merasakan kebahagiaan (mawwadah) dan kasih sayang (rahmah). Kebahagiaan (mawwadah) adalah rasa cinta yang membuat suami istri selalu ingin bersama bahkan  merasa takut kehilangan satu sama lain. Dengan mawwadah suami istri selalu mencari satu sama lain jika pasangan tidak berada di dekatnya. Istri atau suami menjadi orang pertama yang dicari saat tiba di rumah. Dengan mawwadah suami istri senang menghabiskan waktu berdua saja.

Sedangkan rahmah (rasa kasing sayang) adalah kesediaan hati untuk memperhatikan bahkan mengorbankan apapun untuk kebahagiaan pasangannya. Dengan rahmah ini seorang istri dengan senang hati melayani dan memenuhi kebutuhan suaminya. Menyiapkan makanan kesukaan suaminya, menyiapkan pakaiannya, menyiapkan tempat tidur yang bersih dan harum buat suaminya. Segala keperluan suaminya terperhatikan. Dengan kasih sayang suami rela menyediakan rumah yang aman dan nyaman untuk istri dan anaknya. Suami rela membantu kesibukan istrinya karena tidak ingin istrinya terlalu lelah. Dengan rahmah suami mencemaskan keberadaan istrinya yang jauh darinya.

*************

Sakinah, mawwadah dan rahmah, tentunya bukan rasa yang datang dengan tiba-tiba tapi hasil perjuangan. Rasa ini adalah hasil perawatan dan pemupukan rasa cinta yang sudah tumbuh di awal pernikahan. Rasa ini ditempa oleh kesediaan dan keikhlasan menerima dan menyelesaikan masalah yang timbul dalam perjalanan pernikahan. Juga, keihklasan untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya, seperti kata indah " I love you, just the way you are".

Lebih dari itu, sakinah mawwadah wa rahmah adalah rasa yang tumbuh karena kesadaran kita bahwa pasangan kita adalah amanah Allah. Maka segala sesuatunya kita niatkan dan lakukan hanya karena Allah. Itulah sorga di dunia yang Insya Allah juga sorga di akhirat.


Selasa, 15 April 2014

Air Terjun "Sentul Paradise Park"

Mempunyai anak kecil membuat kita harus lebih sering jalan-jalan. Pengalaman jalan-jalan selain menyenangkan anak juga menjadi sarana pembelajaran yang nantinya akan memperkaya pengalaman hidup anak. Daripada memanjakan mereka dengan jalan-jalan ke mall dan permainan ilusi lainnya, wisata alam jauh lebih baik untuk mendidik anak. Oleh karena itu, kami memang sengaja menjadwalkan acara wisata alam. Kali ini tujuan kami adalah air terjun yang berada di Sentul Paradise Park.

Tidak jauh dari Jakarta, ternyata ada air terjun yang lumayan indah untuk dijadikan alternatif wisata alam. Terletak di wilayah Sentul, objek wisata ini dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 - 60 menit dari Jakarta. Dari arah Jakarta menuju lokasi air terjun melalui tol jagorawi dan keluar tol Sentul Selatan/Sentul City. Setelah keluar tol, menuju lokasi air terjun bisa melalui berbagai jalur. Saat itu kami mengikuti petunjuk GPS  melalui jalan alternatif yaitu jalan kampung. Jalan ini lebih pendek, namun ternyata jalanannya kurang bagus dan cukup menanjak. Beberapa kali kami harus berhenti dan bertanya kepada penduduk setempat arah menuju air terjun. Ini membuat perjalanan kami memakan waktu lebih lama. Sebenarnya jalur yang lebih bagus bisa dilalui melalui Rainbow Hill. Melalui Rainbow Hill, jalanan lebih lebar, bagus dan landai. Pulangnya kami melalui jalan ini.

Sesampai di area Sentul Pardise Park sekitar jam 9.00, masih cukup pagi jadi belum terlalu ramai. Oh ya tiket masuk area  air terjun cukup murah yaitu Rp. 15.000,0 per orang. Karena masih pagi kami bisa memilih tempat istirahat yang disewakan Rp. 50.000 per 2 jam. Setelah menyimpan barang-barang di tempat istirahat dan anak-anak berganti pakaian renang kami menuju lokasi air terjun. Air terjun ini tidak terlalu tinggi namun cukup besar dan tidak dianjurkan bagi anak-anak untuk merasakan langsung derasnya air terjun. Kami melihat ada orang dewasa yang bajunya robek terkena derasnya air terjun langsung. Anak-anak cukup bermain-main di pinggir air terjun yang cipratan airnyapun masih terasa deras.
Air terjun Sentul Paradise Park

Setelah puas bermain di area air terjun dan tentu saja berfoto ria, anak-anak bisa bermain di kolam air yang sengaja dibangun di sekitar air terjun. Disini anak-anak bisa menyewa ban-ban besar, kapal-kapalan atau main seluncuran air. Biaya sewa ban atau kapal-kapalan sebesar Rp. 20.000 sepuasnya.

Oh ya, dianjurkan untuk membawa makanan sendiri dan dimakan ramai-ramai di tempat istirahat daripada membeli makanan di area air terjun. Membeli makanan di area air terjun selain harganya mahal rasanya juga seadanya, apalagi kebersihannya. Bayangkan harga mie instan goreng saja seporsi Rp. 15.000. Lebih baik jika kita tidak sempat membawa bekal, kita bisa mampir ke resto sate kiloan yang terkenal di daerah Sentul.



Jumat, 13 Desember 2013

Titik Balik

Siapapun kita berharap perjalanan hidup yang normal, lahir, berkembang menjadi besar, sekolah, bekerja, menikah, melahirkan dan mendidik anak-anak, sebelum akhirnya kembali menghadap Illahi dengan hati yang tenang di usia tua. Namun, kehidupan setiap orang tidak selalu berlangsung normal seperti itu. Seperti itu jualah hidup yang aku alami dan impikan sebelumnya. Lahir di kampung nan permai dari orang tua yang penuh cinta dan lima saudara yang seiring sejalan menjadikan masa kecil kami yang penuh warna dan membahagiakan. Pun setelah aku beranjak remaja, bersekolah, aktif di berbagai kegiatan, mendaki gunung, menjelajah alam, semua menjadi pengalaman yang berkesan. Demikian juga ketika saatnya aku kuliah, lulus, bekerja dan akhirnya menemukan tambatan hati untuk hidup dalam mahligai pernikahan, semuanya berjalan normal dan membahagiakan. Namun, di tahun-tahun terakhir usia dua puluhan, Allah menghendaki jalan hidup yang tidak normal buatku. Di saat pernikahanku berusia 18 bulan, Allah memanggil suamiKu, meninggalkanku sendiri mengarungi dunia yang tiba-tiba saja menjadi tidak indah. Kehilangan itu membuat hatiku merasa hampa.

Aku tak berkutik menghadapi takdirMu. Engkau menguji cintaku, apakah akan berpaling atau istiqomah di jalanMu. Dan akupun menguji cintaku apakah cintaku pada manusia tidak melebihi cintaku padaMu. Namun keyakinanku, bahwa setiap kehendakMu adalah baik tak pernah tergoyahkan. Meski lelah dan terhempas, aku tak pernah menyerah dan berhenti melangkah menempuh hidup yang masih Engkau jatahkan. Terbukti kasih sayangMu berserak di sepanjang jalan. Menjadi penerang dan penunjuk jalan yang aku tempuh, memberikan kemudahan-kemudahan yang terbayangkan. Bahkan, zikir "cukuplah Engkau bagiku" membuatku nyaman tanpa teman dalam perjalanan. Engkaulah sebaik-baik teman perjalanan.

***********

Tiga belas tahun berlalu sudah sejak peristiwa memilukan itu aku alami. Dengan kehendakMu, aku mulai mempertanyakan jalan hidup yang aku pilih. Apakah ini jalan hidup yang benar, sedang Rasulullah utusanMu menganjurkan pernikahan. Menjadikan pernikahan sebagai bagian dari sunnahnya yang seharusnya kita ikuti. Dan aku memilih kembali kehadapMu di baitullah tempat mustajabnya do'a-do'a. Robbi, jika jalan hidup yang aku pilih salah, maka pertemukanlah aku dengan jodohku untuk kedua kalinya. 

Begitulah proposal kehidupanku aku ajukan kepada Yang Maha Mengatur Hidup kita. Dan, Alhamdulillah proposalku disetujui. Tak lama kemudian, Allah benar-benar menghadirkan laki-laki baik di hadapanku. Laki-laki yang saat ini menjadi suamiku. Laki-laki yang juga memiliki jalan hidup tidak normal sepertiku. Namun justru dengan jalan hidup yang tidak normal itu, bersamanya aku belajar cinta dan ketulusan. Masing-masing kami pernah mengalami ujian cinta. Namun, ujian itu menyadarkan kami akan ketidaksempurnaan kami sebagai manusia, menyadarkan kami untuk tak lelah menjadikan cintaNya sebagai muara segala hal.

Robbi, ridhoi jalan hidup kami, satukan kami dalam cintaMu di kehidupan dunia hingga akhirat nanti, beri kami kemampuan  mendidik anak-anak kami untuk mencintaiMu. Jadikan keluarga kami sakinah, mawwadah wa rahmah. Beri kami kemampuan untuk memberi manfaat terhadap keluarga, teman, dan sesama manusia yang lain. Jadikan kami hamba-hambaMu yang ikhlas dan istiqomah di jalanMu. Temani kami yaa Allah, jangan pernah tinggalkan kami dalam perjalanan hidup ini. Aamiin Yaa Robbal'alamiin.